Prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai
perbuatan-perbuatan seorang mukallaf, dirumuskan dalam kaidah syara’: Al ashlu
fi al af’al at taqayyudu bi al hukmi asy
syar’i. ‘Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan
hukum syara’ (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz
III, hal. 19).
Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status
hukum syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah,
apa pun juga perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui
hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah
perbuatan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak
mengetahui hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang berilmu.
Firman Allah SWT :
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(TQS An Nahl : 43)
Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui
hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika
perbuatan itu berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia
laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain untuk mempelajari dan mengetahui
hukum-hukumnya.Misalnya seorang dokter, maka dia wajib ‘ain untuk mengetahui
hukum pengobatan, definisi hidup atau mati, otopsi, dan sebagainya. Seorang
pedagang, wajib
‘ain untuk mengetahui hukum jual beli, sewa menyewa, hutang
piutang, dan sebagainya. Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya
untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah,
hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.
Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan
aktivitasnya sehari-hari, atau baru akan
diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya
(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6).
Misalkan seorang muslim yang mempelajari
hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka
hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang belum akan segera
melaksanakan haji, fardhu kifayah
baginya untuk mempelajari hukum-hukum seputar ibadah haji. Termasuk hukum
fardhu kifayah, adalah menguasai ilmu-ilmu keislaman sampai pada tingkat ahli
(expert), misalnya menjadi ahli tafsir, ahli hadits, ahli ijtihad (mujtahid)
dan sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz
II, hal. 6).
Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu
bagi setiap muslim. Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di
kemudian hari, dan fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam
waktu dekat.
Hukum Menikah
dan Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai
firman Allah SWT :
“Maka kawinilah
wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan
tuntutan untukmelakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak
bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara
kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan
tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum
sunnah, tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi
hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang
melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah)
dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya.
Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim,
dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi
wajib baginya, sesuai kaidah syara’:
Ma la yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu
kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga
hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz
III, hal. 36-37)
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi
perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau
pernikahan yang akan membahayakan agama
isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
Al wasilah ila
al haram muharramah
“Segala
perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953,
Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja
atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin
an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai para
pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan
lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu,
hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari
dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi
“para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy
syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum
wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu
jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut
Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah
orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al
rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul”
yaitu sempurnanya sifat-sifat yang
khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).
Hukum Yang
Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya
saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau
mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah
dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum
yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa
yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban
memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling
tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
~Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman
hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum
menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan
rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan
ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya
bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari
dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.
~Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di
sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` :
4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan
pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan,
dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar,
sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga
berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami
mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib
diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar
nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam
sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al
Mutsla, hal. 174-175).
~Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi
laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak
impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109
menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di
atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi
tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten
(Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan
keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik
untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk
pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih
kuliah, adalah sebagai berikut :
Hukum Menikah
Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang
menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya
adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara
kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram
meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan
kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan
daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada
menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah,
tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut
(menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak
mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah
seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
Hukum Menikah
Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga
dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada
perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat
menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum
asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat
:
Ma la yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu
kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga
hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan
bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban
ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan
sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada
saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini
memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan
sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
~Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh
dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR.
Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib
dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara
amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa
dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan
(orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)
~Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan
pernikahan nikah harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika
mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak
secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun
perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak
sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan
terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi,
atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkankarena kesibukan
kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa
tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia
wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya
(Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165).
Syara’ telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS
Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata
kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu
Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah
untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.”
Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang
mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya
sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri.
Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti
cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau
sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan
nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada
kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa)
sesuai firman-Nya :
“Dan warispun
berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat
:
“Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS
Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan
nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa.
Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap
memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah
Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang
miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga
Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif
menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan
terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti
pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki
maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya,
dengan firman Allah SWT :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun
kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap
hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta
menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan
kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka
tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya
yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua
perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang
siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama
dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan
tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan
kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu.
Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan
sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR.
Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan
pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah,
dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah
menjaga kesucian (diri)nya sehingga
Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur :
33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu
sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya
seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan
kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang
tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh
dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan
khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya
yang ketiga itu adalah syaithan.”
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj,
sebagaimana firman Allah :
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang
tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60)
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk
mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
(khimar) ke dadanya.” (TQS An Nuur:
31)
“Hai Nabi
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS Al Ahzab: 59)
7. Islam melarang seorang wanita melakukan safar
(perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam,
kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak
dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir
melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.”
8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus
hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu
juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita
hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria
hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria.
Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf
shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang
bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya
segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya.
9). Islam
sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya
bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus
seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau
jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera
mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk
melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, Setiap muslim wajib terikat dengan hukum
syara’ dalam setiap perbuatannya, termasuk dalam hal menikah dini.
Kedua, Menikah dan juga menikah dini adalah sunnah.
Ketiga, Menikah dini sunnah bagi mahasiswa yang masih
dapat mengendalikan diri.
Keempat, Menikah dini wajib bagi mahasiswa yang tidak
dapat lagi mengendalikan diri.
Kelima, Menikah dini dalam dua keadaan tersebut
mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah), dan fisik, di samping
mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban kuliah (menuntut ilmu).
Keenam, Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif
agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat
maksiat.
[Muhammad Shiddiq Al Jawi]
* Disampaikan dalam Seminar Setengah Hari bertema
“Pernikahan Dini”, di STTL YLH, Yogyakarta, Ahad, 23 September 2001
0 komentar:
Posting Komentar