23 Sep 2010

Mengajak Anak Berfikir Kritis

TERPIKIRKAH kita mengapa begitu banyak anak dari keluarga “baik-baik” terjerumus ke dalam pergaulan bebas, atau menggunakan obat-obat terlarang tanpa terbebani perasaan bersalah? Mengapa anak-anak yang mendapat contoh yang baik dan tauladan di rumah maupun sekolah mengabaikan dan bahkan mengingkari hati nuraninya sampai tersesat di jalan yang salah. Orangtua maupun guru, barangkali tak habis berpikir apa sebabnya lingkungan pergaulan yang buruk, yang mungkin bukan lingkungan pergaulan sehari-hari anak dan barangkali anak hanya sesaat saja mengenalnya, langsung mengimbas anak dengan dampak negatifnya. Padahal landasan agama dan ajaran tentang norma-norma yang ada telah lama diberikan di rumah dan di sekolah. Lalu apa yang kurang?
Agama dan norma-norma yang ada tampaknya tak mampu menjadi benteng bagi anak untuk menghindari tindakan yang salah. Memang benar, tanpa ajaran agama maupun norma baik-buruk yang ada di masyarakat dan keluarga, anak tidak akan mampu membentuk hati nuraninya dan mengetahui mana tindakan yang patut dan mana perbuatan yang tak terpuji. Namun semua ini tidaklah cukup, apabila anak tidak dibekali ketrampilan untuk berpikir kritis.
Apa sebenarnya berpikir kritis itu? Berpikir kritis adalah berpikir untuk sampai pada pengetahuan yang tepat, sesuai dan dapat dipercaya mengenai dunia di sekitar kita. Dengan berpikir kritis anak dan orang dewasa mampu mengarahkan pemikirannya sesuai dengan yang diinginkannya, dapat bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri dan memperbaiki kehidupannya tanpa dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh dari luar diri yang bisa berakibat buruk. Seseorang yang mampu berpikir kritis akan dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan, mampu secara efisien dan kreatif memilah-milah informasi ini dan berpikir logis hingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggung-jawabkan. Demikian pula pada anak. Bila anak dihadapi pada situasi di luar rumah, misalnya, dimana anak diajak oleh temannya untuk merokok atau lebih parahnya lagi mencoba obat-obat terlarang, maka anak yang mampu berpikir kritis, akan bertanya dan mencari informasi apa dampak positif maupun negatif dari merokok dan obat-obat terlarang. Lalu ia akan memilah-milah informasi itu dan menalar secara logis sampai pada suatu kesimpulan dan keputusan bahwa ia tidak mau merokok dan menggunakan obat-obat terlarang karena dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya. Dalam hal ini ajaran agama dan norma-norma yang diberikan di rumah dan di sekolah bisa menjadi salah satu masukkan informasi yang dibutuhkannya. Namun bila anak tidak mampu berpikir kritis, ajaran agama dan norma-norma masyarakat hanya akan berhenti sampai pada suatu bentuk ajaran saja tanpa anak tahu bagaimana memakai informasi itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi dalam kenyataannya, anak bergaul dengan berbagai macam orang, ada yang baik tapi ada pula yang tidak. Orang atau anak lain yang ingin menjerumuskan anak itu ke dalam perbuatan yang buruk tentu saja tidak akan dengan mudah menyerah untuk tidak mempengaruhi anak. Sehingga anak perlu benteng yang kuat, dalam hal ini pemikiran yang kritis dan yang dipercayanya sepenuh hati untuk bisa membentengi diri dari rayuan-rayuan “maut” itu. Dan berpikir kritis adalah benteng diri anak.
Sayangnya kemampuan berpikir kritis tidak terberi sejak lahir. Anak harus belajar untuk dapat menguasainya. Jadi adalah tugas orangtua dan guru untuk dapat mengembangkan ketrampilan berpikir kritis pada anak. Bagaimana caranya? Salah satu cara yang paling mudah dan sederhana adalah dengan bertanya pada anak dalam berbagai macam bentuk pertanyaan, karena dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, anak akan terdorong untuk berpikir. Tentu saja bentuk pertanyaannya harus tepat. Benjamin Bloom (1956), seorang ahli pendidikan, membuat klasifikasi (taxonomy) pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses berpikir pada manusia. Menurut Bloom kecakapan berpikir pada manusia dapat dibagi ke dalam enam kategori, yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Tiga kategori pertama lebih merupakan ketrampilan berpikir kongkrit, sedangkan analisis, sintesis dan evaluasi lebih abstrak sifatnya dan dikenal sebagai ketrampilan berpikir kritis. Berikut ini penjelasan lebih terinci berikut contoh-contoh pertanyaan dari Bloom’s taxonomy:
a) Pengetahuan (knowledge) mencakup ketrampilan mengingat kembali fakta-fakta yang pernah dipelajari oleh anak yang biasanya menghasilkan jawaban yang benar atau salah. Biasanya bentuk pertanyaannya dimulai dengan kata: berapa banyak, kapan, dimana. sebutkan, jelaskan, dll. Contoh pertanyaannya: Kapan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Atau ada berapa banyak selusin itu?
b) Pemahaman (comprehension) meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada. Biasanya bentuk pertanyaannya diawali dengan kata: jelaskan, gambarkan, bedakan antara satu hal dan lain hal, prediksikan, dll. Contoh pertanyaannya: Jelaskan bagaimana terjadinya hujan? Atau peristiwa-peristiwa penting apa saja yang terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia?
c) Penerapan (application) mencakup ketrampilan menerapkan informasi atau pengetahuan yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru. Biasanya bentuk pertanyaannya menggunakan kata-kata: tunjukan, terapkan, eksperimen, dicobakan, selesaikan, klasifikasikan, dll. Contoh pertanyaannya: Tunjukan persamaan antara telur dan bola dunia? Apakah telur dapat berubah menjadi seekor sapi? Atau bagaimana rumus luas segiempat dapat dipakai untuk mengetahui luas kubus?
d) Analisis meliputi pemilahan informasi menjadi bagian-bagian atau meneliti dan mencoba memahami struktur informasi. Biasanya bentuk pertanyaannya memakai kata-kata: klasifikasikan, sunsunlah, bandingkan, apa perbedaan-perbedaannya, dll. Contoh pertanyaannya: Apa salah satu perbedaan antara telur ayam dengan telur katak? Atau bandingkan dan bedakan ciri-ciri penting diantara alat-alat transportasi yang ada saat ini?
e) Sintesis mencakup menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk menggabungkan elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada sebelumnya. Biasanya pertanyaannya menggunakan kata: bagaimana kalau, temukan, ciptakan, buatlah, gabungkanlah, dll. Contoh pertanyaannya: Apa yang terjadi kalau kucing bertelur? Dengan mengetahui ciri-ciri hewan yang bertelur, apa yang dapat kamu jelaskan tentang hewan yang tidak bertelur?
f) Evaluasi meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan kriteria-kriteria yang ada. Biasanya pertanyaannya memakai kata: pertimbangkanlah, bagaimana kesimpulannya, dll. Contoh pertanyaannya: Apa yang terjadi kalau Soekarno dan Hatta tidak pernah ada? Apakah dan bagaimana sejarah itu (kemerdekaan Indonesia) mungkin berbeda dari yang ada?
Orangtua, maupun guru, dapat menerapkan bentuk pertanyaan diatas dalam situasi sehari-hari, selain dalam bentuk yang berkaitan dengan bidang akademis atau pelajaran di sekolah. Situasi sosial seperti bagaimana menanggulangi kemacetan lalu-lintas di Jakarta, atau apa dampak positif dan negatif dari merokok dan obat-obat terlarang dan bagaimana menghadapi ajakan teman untuk memakainya, atau bagaimana menghadapi pergaulan bebas, dsb dapat dijadikan sebagai simulasi untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kritis pada anak. Tentu saja ketrampilan ini harus dimulai sejak dini dan situasi yang dipakai sebagai bahan simulasi harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Selama orangtua dan guru melakukannya dalam bentuk dan situasi yang menyenangkan, maka anak akan merasa senang menjawab pertanyaan orangtua dan guru dan berdiskusi dengan mereka.
Hal penting lainnya yang patut dilakukan bersama anak oleh orangtua maupun guru adalah merangsang anak untuk bersikap aktif bertanya. Berikan anak contoh bagaimana kita sebagai orangtua aktif bertanya pada diri sendiri karena ingin mengetahui sesuatu. Misalnya di rumah, orangtua ingin tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi masalah anak putus sekolah di sekitar tempat tinggalnya. Untuk membangun berpikir kritis pada anak, maka orangtua dalam situasi ini wajib mengajak anak untuk mengikuti proses pemecahan masalah sosial ini. Sehingga anak tahu apa yang bisa dilakukan, apa saja hambatan-hambatannya, apa dampak positif dan negatifnya dan lain-lain. Dengan menciptakan iklim aktif bertanya dan ingin tahu di rumah dan di sekolah maka situasi seperti ini akan membangun rasa ingin tahu yang besar pada anak dan membuat mereka tidak hanya berdiam diri saja menunggu informasi yang datang, namun aktif bertanya dan mencari jawaban-jawaban yang ada di sekitarnya. Dengan adanya rasa ingin tahu yang besar dan keinginan untuk mencari jawabannya, kemampuan berpikir kritis pada anak akan terasah. Tak lupa orangtua dan guru harus memberikan kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan-keputusan sendiri, khususnya untuk hal-hal yang berkenaan dengan diri anak, selama keputusan tersebut tidak berdampak negatif bagi anak. Janganlah kita selalu mengambil keputusan untuk anak, karena adanya latihan dan simulasi di rumah dapat membantu anak untuk mengambil keputusan sendiri bila diperlukan.
Sebagai orangtua kita harus mempersiapkan anak untuk terjun di masyarakat yang beraneka ragam macamnya. Tidak akan selamanya anak berada di bawah lindungan orangtua 24 jam sehari 7 hari seminggu. Dengan semakin besarnya usia anak, maka akan semakin banyak pula waktu yang digunakan anak bersama orang lain, baik guru, teman, maupun orang dewasa lainnya. Dan dengan semakin banyaknya waktu anak di luar rumah, maka akan semakin rentan pula anak terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Kalau anak tidak dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, ia akan sulit menghadapi situasi-situasi yang harus diputuskan saat itu juga. Akhirnya yang terjadi justru pengambilan keputusan yang salah dan disesali di kemudian hari. Ini sangat mungkin terjadi mengingat adanya desakan-desakan sosial untuk melakukan perbuatan yang keliru, seperti menggunakan obat terlarang dan melakukan pergaulan bebas karena tekanan dari teman sebaya (peer-pressure) yang sangat kuat. Tetapi bila anak sudah trampil berpikir kritis, tanpa adanya orangtua atau guru di depan mata anak, ia akan mampu dan mau mengambil keputusan yang tepat karena secara sadar sepenuhnya anak yakin bahwa apa yang diputuskannya adalah yang terbaik bagi dirinya saat ini dan untuk masa yang akan datang.

Sumber : buatkeluarga.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar