4 Okt 2010

Elemen Langka China Bikin Pusing AS

Perusahaan pengolah elemen langka China berhasil membuat Amerika Serikat (AS) kewalahan. Jika Timur Tengah punya minyak, China punya elemen langka.

“Elemen langka jadi pasar menarik sekarang,” kata Bai Baosheng. Perusahaan milik pria berusia 43 tahun inilah yang menjual kantong bubuk berisi elemen besi neodymium. Magnet kecil inilah yang mengatur arah bom saat dijatuhkan jet Angkatan Udara AS di Afghanistan.

Bai Baosheng merupakan generasi setelah Deng Xiaoping di mana mereka berhasil menguasai teknik penggunaan neodymium dan 16 elemen lain yang merupakan elemen langka di bumi. Hal itu membuat China dapat mendominasi pasar.

Selusin orang berisi eksekutif industri, pemimpin kongres dan ahli kebijakan AS yang diwawancarai menyebut AS telah menyerahkan kekuatan ekonomi utama ini pada pesaing. Hal itu membuat pesaing dapat mengontrol harga dan suplai sendiri.

Pada Juli , China mengurangi kuota ekspor logam ini sebesar 72% sehingga membuat beberapa elemen lain jadi naik lebih dari enam kali lipat. Pejabat militer hanya mengatur di mana dan bagaimana suplier AS menggunakan zat-zat penting ini.

“Pentagon sangat ceroboh,” kata Peter Leitner, senior strategic trade adviser Departemen Pertahanan. “Terdapat banyak tanda peringatan China akan menggunakan penguasaannya terhadap materi ini sebagai senjata,” katanya.

China selalu bersikap fleksibel pada Jepang. Namun pekan lalu, China melarang ekspor logam ini ke Jepang, menurut Menteri Ekonomi Jepang, Banri Kaieda pada 28 September lalu.

Namun juru bicara Menteri Perdagangan China, Chen Rongkai membantahnya. “Jelas sekali, China mempertimbangkan faktor dari suplai materi penting ini,” kata Dudley Kingsnorth, director of Industrial Minerals Co Australia .

Penyelidik Kongres AS pada April telah memperingatkan ‘kerentanan’ ini pada militer AS, di mana mereka mengalami kekurangan suplai domestik materi langka ini.

“Departemen ini telah lama mengenali elemen langka ini sebagai materi mentah penting terkait sistem pertahanan, banyak perusahaan yang mengkhawatirkan ketersedian logam ini di masa depan,” kata Gao, Direktur Office of Industrial Policy Pentagon.

Gao mengatakan butuh 15 tahun untuk membangun ulang rantai manufaktur suplainya. China secara terang-terangan mengolah elemen-elemen langka ini, kata badan tersebut. Elemen ini bisa dimanfaatkan untuk mobil listrik hybrid dan turbin angin.

Bahan-bahan langka ini secara kimia mirip seperti yttrium dan dysprosium. China memiliki bagian terbesar sekitar 36%, posisi kedua ditempati AS dengan 13%, kata survei Geologi AS. Elemen ini biasanya mahal dan tidak menarik bagi produsen barat.

China memproduksi 120 ribu ton atau sekitar 97% suplai dunia tahun lalu, menurut Gao. Setengahnya berasal dari Baotou , kata Kingsnorth. Bahan mentah ini dapat digunakan untuk berbagai macam hal. Misalnya perusahaan China memanfaatkannya untuk membuat magnet dan menjual produknya pada suplier kontraktor pertahanan AS.

Kuota ekspor dan pajak luar negeri menaikkan biaya hingga 25% di mana hal ini mendorong naiknya harga elemen tersebut. Beberapa manufaktur China berusaha bernegosiasi untuk menangguhkan peraturan kuota terbaru itu karena dianggap dapat mengganggu pasar, kata Constantine Karayannopoulos, CEO Neo Material Technologies Inc.

“Hal ini sangat mendadak dan tidak memberi waktu industri menyesuaikan diri,” katanya. Meningkatnya harga Neodymium memaksa naiknya harga magnet tersebut. Hal ini membuat suplier terus menaikkan harga. “Jika semua orang melakukannya, maka hal ini akan membuat semuanya menjadi kacau,” kata Schrantz.

Salah satu cara untuk mengatasinya adalah menimbun besi itu bersama sekutu. Sejak 1994, Pentagon telah menjual US$7 juta (Rp62,6 miliar) materi mentah ini di mana yang membuatnya rumit adalah bahkan Pentagon tidak yakin mengenai apa yang mereka butuhkan.

Stephen Luckowski, kepala manufaktur materi dan prototipe mengatakan butuh waktu lama mempelajari besi langka ini dan dia yakin AS sangat membutuhkannya. “Besi ini tidak ada gantinya,” katanya.

Saat bernegosiasi dengan perusahaan Bai, perusahaan itu menyebutkan kutipan dari Deng, “Timur Tengah memiliki minyak dan China punya logam langka. Tidak adil bagi China jika AS terus memberi perintah,” kata Bai.

“Untuk memperbaiki kerusakan bumi saja kami perlu mengembalikan vegetasi, meningkatkan aliran air dan merawat tanah. Hal ini benar-benar mahal,” tambahnya. Biaya untuk menghasilkan logam itu memang sangat mahal. “Merupakan strategi cerdik yang diambil oleh China ,” kata Mark Smith, CEO Molycorp.

Molycorp sedang mencari mitra untuk mengolah besi ini dan mengubahnya menjadi magnet neodymium di AS. Mereka berharap dengan begini dapat menciptakan 900 lapangan kerja baru


sumber: http://www.inilah.com

0 komentar:

Posting Komentar