2 Feb 2011

Tolkien (Mitos) Dalam The Lord of The Ring

Tolkien (mitos) dalam The Lord of The Ring

Dalam kepungan gelap sekalipun selalu ada terang ( J.R.R Tolkien, Lord of The Ring ). Film Lord of The Ring, yang mengisahkan perjalanan, dan petualangan Frodo untuk memusnahkan cincin ke gunung Doom. Pada akhirnya, kebenaran akan selalu menghalau kejahatan. Memang, kejahatan selalu menghantui kebenaran. Hingga, kebenaran terlihat samar. Seolah-olah, tiada yang berkuasa kecuali kejahatan. Kejahatan telah merajai hidup dan tak tampak lagi kebenaran.

Inspirasi Tolkien terhadap dunia fantasi yang menyajikan ide-ide segar dan dihidupkan kembali diantaranya Middle earth, dwarf, orc, hobbit, elves, gollum, troll, dan balrog. Ide cerita dalam film tersebut umumnya mengacu pada mitologi Nordik atau lebih dikenal sebagai mitologi Eropa Utara. Namun, ekplorasi ide penceritaan lebih cendrung mencenkram masa. Tolkien begitu berpengaruh dalam mengembangkan ide-ide fantasi dan orang-orang cendrung bercengkrama dengan fantasi epik. Tolkien sangat menikmati dalam menulis naskah tersebut. Seakan-akan, pikiran Tolkien berpadu dalam irama penulisan cerita.

Dalam karya-karya Tolkien, terdapat semangat, imajinasi, dan kecerdasan spritual yang mampu menerobos hati manusia. Meskipun, dalam cerita bergenre fantasi epik. The Hobbit, terbit pada 1937, dan seketika mengubah lanskap cerita fantasi yang sudah ada sebelumnya. Penciptaan Middle-earth beserta para penghuninya berdasarkan mitologi yang hidup ketika itu seolah-olah menjadi bahan siap pakai bagi para penulis sesudahnya. Tapi The Lord of the Rings-lah yang memastikan bahwa Tolkien, dalam kata-kata George R.R. Martin, penulis cerita fantasi yang ikut mengembangkan serial televisi Beauty and the Beast, telah mewujudkan "sebuah semesta sekunder yang benar-benar disadari, sebuah dunia utuh dengan geografinya, sejarahnya, dan legendanya sendiri, sepenuhnya lepas dari dunia kita, tapi rasanya seperti nyata".

The Letters of J.R.R. Tolkien hasil suntingan Humphrey Carpenter, Tolkien menjelaskan bahwa istilah Middle-earth ditemukan dalam bahasa Inggris kuno, yakni middangeard, midden-erd, atau Midgard. Ada padanannya dalam bahasa Latin: Mediterranean (dari medi, tengah, dan terra, bumi).

Semua istilah ini merujuk bukan saja pada pengertian dunia fisik (lawan dari dunia "lain"), tapi juga dunia ini, tempat manusia tinggal. Dalam rekaan Tolkien, Middle-earth adalah bumi pada periode 6.000 hingga 7.000 tahun silam. Inilah dunia yang digambarkan dalam buku-buku The Hobbit, The Lord of the Rings, dan The Silmarillion (yang diterbitkan pada 1977, empat tahun setelah Tolkien meninggal). Meski beda zaman, lokasi kejadian-kejadian di tiga buku ini adalah bagian barat daya dari Middle-earth, yang disebut Eropa pada masa modern. Sejumlah ras dan spesies tinggal di Middle-earth, dengan asal-usul, bahasa, dan budaya masing-masing.

Mula-mula adalah ainur, makhluk suci (malaikat) yang diciptakan oleh Iluvatar (Tuhan). Ainur ikut membantu Iluvatar menciptakan Arda (bumi). Kelak sebagian dari ainur tinggal di Arda, yang terbaik disebut valar (Morgoth atau Melkor, representasi kejahatan di Middle-earth, satu di antaranya), yang lebih rendah disebut maiar (manusia menyebut mereka penyihir; Gandalf dan Saruman, yang muncul di The Lord of the Rings, termasuk di antaranya). Selain itu, ada maiar jahat, antara lain balrog dan Sauron, Sang Penguasa Kegelapan.

Manusia dan elves adalah "anak-anak" Iluvatar, yang diciptakan sendiri oleh Iluvatar. Hobbit, pencerita sekaligus pemeran utama baik dalam The Hobbit maupun The Lord of the Rings, dideskripsikan sebagai keturunan manusia meskipun tak pernah bisa diketahui bagaimana secara genealogi mereka bertautan.

Posisi istimewa ada pada dwarves. Makhluk mirip manusia bertubuh pendek ini bukan ciptaan Iluvatar, tapi hasil kreasi valar bernama Aule, yang kemudian mempersembahkan ciptaannya kepada Iluvatar. Iluvatar menerima persembahan ini, lalu memberinya kehidupan dan kehendak bebas. Untuk mengimbangi dwarves, Iluvatar menciptakan ent, penjaga pepohonan.

Penghuni-penghuni yang lain di antaranya adalah orc dan troll, makhluk jahat hasil rekayasa Morgoth; mereka bukan kreasi orisinal, tapi "tiruan" elves dan ent. Asal-usul mereka tak jelas; setidaknya beberapa di antara mereka dihidupkan dari manusia dan elves yang cacat. Selain mereka, ada pula bermacam satwa di antaranya adalah wujud lain maiar, atau keturunan maiar.

Semua hal itu memang berskala besar dan menunjukkan betapa Tolkien berada dalam posisi sekaligus seperti Sang Pencipta. Tolkien sendiri mulanya tak pernah berniat untuk melakukannya. Setelah The Hobbit, ia baru mulai mereka-reka cerita lain yang juga tentang hobbit karena desakan penerbitnya, dia mulai menulis cerita tersebut pada tahun 1930. Proses penulisan cerita baru ini berlangsung lamban; Tolkien ingin segalanya sempurna. Dari surat-suratnya, Tolkien memang melihat pekerjaannya sebagai sebuah sub-penciptaan dan dirinya sebagai sub-pencipta dia percaya bahwa memang tugasnyalah untuk menciptakan cerita.

Gagasan bagi fantasi besar itu, khususnya The Lord of the Rings, tak lepas dari cara Tolkien memandang kehidupan, dengan pendekatan Katolik, di samping minat profesionalnya pada studi bahasa (filologi) dan mitologi. "Tentu saja secara mendasar karya itu memang (bersifat) religius dan Katolik," kata Tolkien dalam satu suratnya. "Begitulah mula-mula secara tak sadar, tapi (begitu pula) secara sadar setelah revisi.... 
Unsur-unsur agama terserap ke dalam cerita dan simbolisme.

Menurut Humprey Carpenter mitos dapat membuat manusia tersesat sedangkan menurut Tolkien berpendapat bahwa mitos bukan hanya sekedar rekaan semata tetapi, hanya dengan mitos kita dapat menyampaikan kebenaran. Sayangnya, Tolkien membantah bahwa mitos bukanlah kebohongan.

Tolkien menjelaskan, sebagai mahkluk Tuhan, manusia merajut mitos sebagai cermin fragmen cahaya sejati, kebenaran abadi yang ada pada Tuhan. "Mitos bisa saja tersesat, tapi betapapun goyah, mitos membawa kepada pelabuhan sejati, sedangkan “kemajuan” materialistis hanya mengajak ke jurang dan kuasa jahat."
Dalam kasus The Lord of the Rings, Carpenter menjelaskan, nilai-nilai yang muncul adalah nilai-nilai keagamaan .

Tanpa menyebut Tuhan, Tolkien menunjukkan kekuasaan-Nya lewat setiap tikungan dalam pola sejarah. Ia tak menyebut Aragorn dan Gandalf sebagai malaikat penolong cukup dengan memperlihatkan bahwa mereka mewakili harapan dan kekuatannya, termasuk kembalinya Gandalf secara menakjubkan dari kematian. Sama halnya dengan Frodo. Tanpa harus menjadi seorang Kristiani, melalui tindakannya, Frodo menyingkapkan makna sejati kehidupan Kristiani.Lebih dari itu, masih menurut Humphrey, sesungguhnya bukan Frodo hobbit pemikul beban tugas memusnahkan Cincin Utama di Gunung Doom yang menyelamatkan Middle-earth, dan bukan pula Gollum. Tapi sang penyelamat adalah Sesuatu yang bekerja melalui kasih dan kemerdekaan mahkluknya, yang "mengampuni kita karena pelanggaran-pelanggaran kita, 'pada saat kita memaafkan mereka yang melanggar (hak-hak) kita'".

Sepanjang kisah dalam The Lord of the Rings, kuasa kejahatan tampak begitu digdaya, tapi tidak maha kuat. Selalu terasa bahwa kekuasaan agung setiap saat berada di samping para penentang Sang Penguasa Kegelapan dan bahwa, pada akhirnya, akan berjaya menghadapi segala bentuk kejahatan.Begitu juga dalam kehidupan, yang tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Keduanya saling berdampingan.


sumber: http://www.morzing.com

0 komentar:

Posting Komentar